Jumat, 11 Juli 2014

Aisha dan Aryo

Intro:
Di cerpen ini gw ingin bermain main dengan alur yang gabisa ditebak. Sedikit sedikit misterius gitu hehehe. Tapi mungkin ada beberapa dari kamu yang bisa langsung nebak endingnya bakal gimana. Apapun itu, happy reading guys :D

=======

Kupatut patut diriku sekali lagi di kaca. Eyeliner udah. Mascara tertata rapi. Blush on sempurna. Lipstick warna cerah. Mmm apalagi yaaa ? Ah iya rambut. Aryo paling suka kalo rambutku digerai tanpa ada hiasan apa apa. Katanya bikin dia gemes dan ngga tahan buat ngacak ngacak rambutku hihihihi
“Kayanya ada yang kurang deh, tapi apa yaa ?”
Aku memandang ke sekeliling kamar dan menemukan bungkusan berwarna kuning di sudut meja. Pie susu kesukaan Aryo ! Aryo pasti seneng banget kalo aku bawain ini. Udah lama banget sejak dia terakhir memakannya.
Sebelum berangkat, kucek kembali BBM dari Aryo yang memberitahukan waktu dan tempat kami bertemu. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dan melepaskan segenap rasa rindu.
Mas, aku udah berangkat nih. See you soon. Love you :*
Kukirimkan BBM padanya. Ah pending ! Mungkin dia sengaja menonaktifkannya karna masih mengendarai mobil. Begitulah Aryo, selalu patuh pada peraturan lalu lintas. Tak pernah sekalipun dia mengirimkan sms, BBM atau menerima telfon selama berada di jalan. Yasudahlah nanti saja aku menelfonnya.
Bergegas kuturuni tangga rumah. Saat melintasi ruang keluarga, aku melihat mama sedang asik menonton telenovela yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta.
“Ma, Aisha berangkat dulu yaa” pamitku pada mama tercinta
“Kamu mau kemana nak ?”
“Aisha mau ketemu Aryo Ma. Udah lama sejak terakhir kali kami bertemu karna Aryo selalu sibuk dengan kerjaannya. Padahal kan pernikahan kami bulan depan Ma. Aisha sekalian mau ngomongin persiapan pernikahan kami”
Mama hanya memandangku cemas. Aku tau Mama pasti sangat khawatir kepadaku. Sejak kepergian Papa 15 tahun yang lalu, Mama berjuang seorang diri membesarkanku dan adek kecilku, Cherry.
Menjadi single parent tentu tidak mudah. Oleh karena itu, aku pernah mengatakan pada Mama bahwa aku tak keberatan jika Beliau menikah lagi asalkan itu bisa membuatnya bahagia dan meringankan bebannya.
Alih alih mengiyakan pernyataanku, Mama malah tertawa. Baginya kami berdua bukanlah beban, melainkan malaikat kecil yang selalu menerangi hidupnya. Dan bagi Mama juga, Papa adalah cinta pertama dan cinta terakhirnya.
“Kalian mau bertemu dimana ?” pertanyaan Mama membuyarkan lamunanku.
“ Di Kemang Ma. Aisha berangkat dulu yaa Ma. Assalamualaikum” Kukecup tangan Beliau yang penuh kerutan namun berselimutkan kehangatan.
“Hati hati di jalan ya Nak”
==========
You make me wanna say
I do I do I do , do do do do do
Yeah I do I do I do, do do do do do
Cause every time before it’s been like maybe yes maybe no
I can’t live without it, I can’t let it go
Ooh what did I get myself into ? you make me wanna say I do I do I do
Lantunan lagu dari Colbie menemani perjalananku menuju Kemang. Kunikmati arus jalanan yang lancar tanpa adanya kebisingan klason dari pengemudi yang tidak sabaran. Sungguh hari yang tepat untuk bertemu pujaan hati dan memadu tali kasih. Hihihihihi
Kulirik jam mungil pemberian Aryo di dashboard mobil. Waktu menunjukkan jarum jam di angka empat. Lebih cepat dari yang kuperkirakan. Tak apalah menunggu 15 menit daripada membiarkan Aryo yang menungguku. Kan kasian…..
Segera setelah turun dari mobil, aku melangkahkan kaki menuju tempat janjian kami. Casa Café . Casa disadur dari bahasa Italia yang berartikan rumah. Pemilik café ini memang mengusung konsep hommie sehingga setiap pengunjung yang datang akan merasa betah dan nyaman, seperti di rumah sendiri. Pemilik café juga melengkapi interior ruangan dengan menggantungkan sebuah jam dinding besar, warisan turun temurun dari keluarganya. Terkesan klasik dan apik. Inilah salah satu alasan yang menjadikan café ini sebagai tempat favorit kami bertemu. Selain yaa karna di café inilah pertemuan pertama kami terjadi.
Kususuri satu persatu pajangan foto yang menempel di dinding café. Ya, setiap tamu memiliki kebebasan untuk memamerkan kebahagiaannya lewat sebuah foto. Mataku segera menemukan salah satu foto yang berada di pojok kanan atas. Foto aku dan Mas Aryo, sedang tertawa bersama. Ada kisah di balik foto ini. Saat itu salah seorang pegawai café iseng mengambil foto kami berdua secara candid. Tak disangka hasilnya bagus dan menjadi ide dasar untuk menghiasi dinding-dinding café dengan foto pelanggan.
Puas bernostalgia, aku segera mencari tempat duduk. Tak perlu menunggu lama, aku melambaikan tangan pada salah satu waitress yang sudah kukenal. Namanya Riri.
“Hai Mba Aisha. Apa kabar ? Udah lama nih ngga pernah kesini” sapanya riang.
“Alhamdulillah baik Ri. Maaf yaa aku baru sempet kesini, pekerjaanku lagi sibuk sibuknya nih”
“Iya gapapa Mba. Kesini sama siapa Mba ? Sendiri aja ?” Riri mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
“iya Ri aku sendirian aja. Tapi bentar lagi Mas Aryo dateng ko”
“Aryo ?”
“iya Mas Aryo. Masa kamu lupa sih sama dia ?”
“tapi Mba, bukannya Mas Aryo…. “
“Riri !” panggilan manajer café memutuskan obrolan kami.
“Bentar yaa Mbak. Aku kesana dulu. Oh ya Mba mau pesen apa ?”
“Seperti biasa aja yaa, ice matcha tea”
“Oke. Mba gapapa kan aku tinggal sendiri ?”
“Iya gapapa ko, bentar lagi kan mas Aryo juga dateng”
Namun Riri masih mematung di posisi berdirinya.
“Hei ko malah ngelamun ? udah sana. Nanti kamu dimarahin bos loh”
Dengan langkah enggan Riri beranjak meninggalkanku. Seperti tak rela, dia berkali kali menolehkan pandangannya padaku. Aku memberikan gesture “mengusir” padanya dan memberikan semangat lewat kepalan tangan bak pejuang kemerdekaan.
Kudial nomor Aryo.
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah sesaat lagi.
“Duh Aryo kemana sih ?” Dengan perasaan kesal dan tidak sabaran, aku mencoba menelfonnya berkali kali. Tapi hasilnya selalu sama. Mail box.
Setengah putus asa kuhentikan usahaku menghubunginya. Sudah sejam lebih Aryo terlambat. Tak biasa biasanya dia seperti ini. Kuseruput minumku yang  hanya menyisakan cube ice nya. Tiba tiba handphoneku berdering. Dengan penuh semangat kuraih gadget putih itu. Awas aja ya Mas, kamu harus menyiapkan seribu satu alasan bagus kalo nggak mau aku omel omelin. Harapan tinggal harapan. Ternyata yang menelfonku adalah Mama.
“Assalamulaikum. Ada apa Ma ?”
“Nak, kamu bisa susul Mama ke Rumah Sakit ngga ?” Mama bertanya dengan suara lemah hampir hampir tak terdengar.
“Mama sakit ? Aku segera kesana yaa Ma, tunggu aku”
Telfon terputus. Dengan tergesa gesa aku meninggalkan café dan beberapa lembar kertas biru berlatar belakang I Gusti Ngurah Rai. Aku benar benar panik hingga tak sempat pamit pada Riri.
Kupacu mobil dengan kecepatan tinggi. Aku benar benar ingin segera sampai di rumah sakit.  Aku takut terjadi sesuatu dengan Mama, apalagi akhir akhir ini Beliau sering mengeluh sakit kepala.
“Oh iya janji dengan Mas Aryo gimana nih ?” relfeks kutepuk jidat, terlalu keras hingga menyisakan cap merah disana. Auw !
Ah gampanglah, kuminta saja dia menyusulku ke rumah sakit.
=================
Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Mama tengah duduk termenung di lobi.
“Ma, mama kenapa ? Mama sakit apa ? Ko ngga bilang sama Aisha ? Kan bisa Aisha anterin”
“Mama ngga kenapa kenapa ko. Maaf yaa udah bikin kamu khawatir. Mama ingin memperkenalkan teman Mama sama kamu. Kamu ngga keberatan kan ?” mama membelai kepalaku dengan lembut.
“Ya ampun Mama, kenapa ngga bilang dari tadi ? aku pikir Mama kenapa kenapa. Ya pasti boleh dong Ma. Sekarang temen Mama mana ?”
Mama tak menjawab pertanyaanku. Beliau menuntunku ke sebuah ruangan.
“Temen Mama ada di dalam. Kamu temui dia di dalam ya. Namanya Tante Lisa”
Sekilas aku melihat nama ruangan tersebut.
Ruang Psikiater.
“Assalamualaikum”
“Walaikumsalam. Masuk masuk sayang. Kamu pasti namanya Aisha yaa ? Kamu cantik sekali” sapa Tante Lisa dengan ramah.
“Terima kasih Tante. Mama bilang Tante ada perlu sama aku yaa ? kalo boleh tau, ada apa yaa Tan ?” tanya dengan sopan.
“Nggak ada apa apa ko cantik. Tante cuma pengen ngobrol ngobrol sama kamu. Boleh kan Tante minta waktu kamu ?”
“Iya pasti boleh dong Tan”
Hampir dua jam lebih aku menghabiskan waktu bersama Tante Lisa. Beliau sangat baik, ramah, dan pintar. Walaupun ada beberapa pertanyaannya yang mengganjal dan terasa aneh.
“Oke makasih yaa sayang. Tante boleh minta tolong ngga ? Tolong panggilin Mama kamu yaa”
“Baik Tan”
“Ma, Mama dipanggil Tante Lisa tuh”
“Oh iya sayang ? kalo gitu Mama temui Tante Lisa dulu yaa. Kamu bisa tunggu Mama ? jalan jalan aja dulu di sekitar taman. Nanti Mama telfon kalo udah kelar. Is it okey darling ?”
“sure Mam”
================
Sementara itu di Ruang Psikiater,
“Bagaimana Dok dengan kondisi anak saya ?”
“Begini Bu. Trauma yang dialami oleh Aisha cukup berat. Kondisi kejiwaannya mengalami gangguan. Dalam bahasa kedokteran, biasa dikenal dengan istilah Psikosis. Kondisi dimana penderita tidak mampu menerima realita dengan fantasi dirinya sehingga menimbulkan sebuah halusinasi. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan Aisha untuk menerima kenyataan bahwa Aryo telah meninggal sejak tiga bulan lalu. Oleh karena itu tanpa ia sadari, ia masih menganggap bahwa Aryo masih ada dan pernikahan mereka akan segera berlangsung”
“Lalu apa yang harus saya lakukan ? Saya tidak tega melihat keadaan Aisha Dok. Mungkin dia terlihat baik baik saja. tapi sebenarnya dia sangat rapuh” wanita itu mulai terisak.
“Saya mengerti Bu. Namun kita tidak bisa mengatakan secara langsung kepada Aisha akan kenyataan sebenarnya. Hal ini justru akan lebih menggoncang jiwanya dan malah membuat keadaaan semakin parah. Saran saya, Aisha harus menjalani terapi. Butuh waktu memang, tapi inilah langkah terbaik yang dapat kita lakukan”
“Saya setuju Dok. Apapun itu asalkan bisa membuat putri sulung saya kembali seperti semula”
=============
“Cuaca hari ini begitu cerah. Coba kalo ada Mas Aryo. Oh iya aku belum menghubunginya”
Sekali lagi kucoba menelfon Mas Aryo.
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah sesaat lagi.
Ah lagi lagi mail box ! kamu kemana sih Mas ?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar