Intro:
Di cerpen ini gw ingin bermain main dengan alur yang gabisa ditebak. Sedikit sedikit misterius gitu hehehe. Tapi mungkin ada beberapa dari kamu yang bisa langsung nebak endingnya bakal gimana. Apapun itu, happy reading guys :D
=======
Kupatut patut
diriku sekali lagi di kaca. Eyeliner udah. Mascara tertata rapi. Blush on
sempurna. Lipstick warna cerah. Mmm apalagi yaaa ? Ah iya rambut. Aryo paling
suka kalo rambutku digerai tanpa ada hiasan apa apa. Katanya bikin dia gemes
dan ngga tahan buat ngacak ngacak rambutku hihihihi
“Kayanya ada yang
kurang deh, tapi apa yaa ?”
Aku memandang ke
sekeliling kamar dan menemukan bungkusan berwarna kuning di sudut meja. Pie
susu kesukaan Aryo ! Aryo pasti seneng banget kalo aku bawain ini. Udah lama banget
sejak dia terakhir memakannya.
Sebelum
berangkat, kucek kembali BBM dari Aryo yang memberitahukan waktu dan tempat
kami bertemu. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dan melepaskan segenap
rasa rindu.
Mas, aku udah berangkat nih. See you soon.
Love you :*
Kukirimkan BBM
padanya. Ah pending ! Mungkin dia sengaja menonaktifkannya karna masih
mengendarai mobil. Begitulah Aryo, selalu patuh pada peraturan lalu lintas. Tak
pernah sekalipun dia mengirimkan sms, BBM atau menerima telfon selama berada di
jalan. Yasudahlah nanti saja aku menelfonnya.
Bergegas
kuturuni tangga rumah. Saat melintasi ruang keluarga, aku melihat mama sedang asik
menonton telenovela yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta.
“Ma, Aisha
berangkat dulu yaa” pamitku pada mama tercinta
“Kamu mau kemana
nak ?”
“Aisha mau
ketemu Aryo Ma. Udah lama sejak terakhir kali kami bertemu karna Aryo selalu
sibuk dengan kerjaannya. Padahal kan pernikahan kami bulan depan Ma. Aisha
sekalian mau ngomongin persiapan pernikahan kami”
Mama hanya
memandangku cemas. Aku tau Mama pasti sangat khawatir kepadaku. Sejak kepergian
Papa 15 tahun yang lalu, Mama berjuang seorang diri membesarkanku dan adek
kecilku, Cherry.
Menjadi single
parent tentu tidak mudah. Oleh karena itu, aku pernah mengatakan pada Mama
bahwa aku tak keberatan jika Beliau menikah lagi asalkan itu bisa membuatnya
bahagia dan meringankan bebannya.
Alih alih
mengiyakan pernyataanku, Mama malah tertawa. Baginya kami berdua bukanlah
beban, melainkan malaikat kecil yang selalu menerangi hidupnya. Dan bagi Mama
juga, Papa adalah cinta pertama dan cinta terakhirnya.
“Kalian mau
bertemu dimana ?” pertanyaan Mama membuyarkan lamunanku.
“ Di Kemang Ma.
Aisha berangkat dulu yaa Ma. Assalamualaikum” Kukecup tangan Beliau yang penuh
kerutan namun berselimutkan kehangatan.
“Hati hati di
jalan ya Nak”
==========
You make me wanna say
I do I do I do , do do do do do
Yeah I do I do I do, do do do do do
Cause every time before it’s been like maybe
yes maybe no
I can’t live without it, I can’t let it go
Ooh what did I get myself into ? you make me
wanna say I do I do I do
Lantunan lagu
dari Colbie menemani perjalananku menuju Kemang. Kunikmati arus jalanan yang
lancar tanpa adanya kebisingan klason dari pengemudi yang tidak sabaran.
Sungguh hari yang tepat untuk bertemu pujaan hati dan memadu tali kasih.
Hihihihihi
Kulirik jam
mungil pemberian Aryo di dashboard mobil. Waktu menunjukkan jarum jam di angka
empat. Lebih cepat dari yang kuperkirakan. Tak apalah menunggu 15 menit
daripada membiarkan Aryo yang menungguku. Kan kasian…..
Segera setelah
turun dari mobil, aku melangkahkan kaki menuju tempat janjian kami. Casa Café . Casa disadur dari bahasa Italia yang berartikan rumah. Pemilik café
ini memang mengusung konsep hommie
sehingga setiap pengunjung yang datang akan merasa betah dan nyaman, seperti di
rumah sendiri. Pemilik café juga melengkapi interior ruangan dengan
menggantungkan sebuah jam dinding besar, warisan turun temurun dari keluarganya.
Terkesan klasik dan apik. Inilah salah satu alasan yang menjadikan café ini
sebagai tempat favorit kami bertemu. Selain yaa karna di café inilah pertemuan
pertama kami terjadi.
Kususuri satu
persatu pajangan foto yang menempel di dinding café. Ya, setiap tamu memiliki
kebebasan untuk memamerkan kebahagiaannya lewat sebuah foto. Mataku segera
menemukan salah satu foto yang berada di pojok kanan atas. Foto aku dan Mas
Aryo, sedang tertawa bersama. Ada kisah di balik foto ini. Saat itu salah seorang
pegawai café iseng mengambil foto kami berdua secara candid. Tak disangka
hasilnya bagus dan menjadi ide dasar untuk menghiasi dinding-dinding café
dengan foto pelanggan.
Puas
bernostalgia, aku segera mencari tempat duduk. Tak perlu menunggu lama, aku
melambaikan tangan pada salah satu waitress yang sudah kukenal. Namanya Riri.
“Hai Mba Aisha.
Apa kabar ? Udah lama nih ngga pernah kesini” sapanya riang.
“Alhamdulillah
baik Ri. Maaf yaa aku baru sempet kesini, pekerjaanku lagi sibuk sibuknya nih”
“Iya gapapa Mba.
Kesini sama siapa Mba ? Sendiri aja ?” Riri mengedarkan pandangan ke sekeliling
ruangan.
“iya Ri aku
sendirian aja. Tapi bentar lagi Mas Aryo dateng ko”
“Aryo ?”
“iya Mas Aryo.
Masa kamu lupa sih sama dia ?”
“tapi Mba,
bukannya Mas Aryo…. “
“Riri !”
panggilan manajer café memutuskan obrolan kami.
“Bentar yaa
Mbak. Aku kesana dulu. Oh ya Mba mau pesen apa ?”
“Seperti biasa
aja yaa, ice matcha tea”
“Oke. Mba gapapa
kan aku tinggal sendiri ?”
“Iya gapapa ko,
bentar lagi kan mas Aryo juga dateng”
Namun Riri masih
mematung di posisi berdirinya.
“Hei ko malah
ngelamun ? udah sana. Nanti kamu dimarahin bos loh”
Dengan langkah
enggan Riri beranjak meninggalkanku. Seperti tak rela, dia berkali kali
menolehkan pandangannya padaku. Aku memberikan gesture “mengusir” padanya dan
memberikan semangat lewat kepalan tangan bak pejuang kemerdekaan.
Kudial nomor
Aryo.
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau
berada di luar jangkauan. Cobalah sesaat lagi.
“Duh Aryo kemana
sih ?” Dengan perasaan kesal dan tidak sabaran, aku mencoba menelfonnya berkali
kali. Tapi hasilnya selalu sama. Mail box.
Setengah putus
asa kuhentikan usahaku menghubunginya. Sudah sejam lebih Aryo terlambat. Tak
biasa biasanya dia seperti ini. Kuseruput minumku yang hanya menyisakan cube ice nya. Tiba tiba
handphoneku berdering. Dengan penuh semangat kuraih gadget putih itu. Awas aja
ya Mas, kamu harus menyiapkan seribu satu alasan bagus kalo nggak mau aku omel
omelin. Harapan tinggal harapan. Ternyata yang menelfonku adalah Mama.
“Assalamulaikum.
Ada apa Ma ?”
“Nak, kamu bisa
susul Mama ke Rumah Sakit ngga ?” Mama bertanya dengan suara lemah hampir
hampir tak terdengar.
“Mama sakit ? Aku
segera kesana yaa Ma, tunggu aku”
Telfon terputus.
Dengan tergesa gesa aku meninggalkan café dan beberapa lembar kertas biru
berlatar belakang I Gusti Ngurah Rai. Aku benar benar panik hingga tak sempat
pamit pada Riri.
Kupacu mobil
dengan kecepatan tinggi. Aku benar benar ingin segera sampai di rumah sakit. Aku takut terjadi sesuatu dengan Mama, apalagi
akhir akhir ini Beliau sering mengeluh sakit kepala.
“Oh iya janji
dengan Mas Aryo gimana nih ?” relfeks kutepuk jidat, terlalu keras hingga
menyisakan cap merah disana. Auw !
Ah gampanglah,
kuminta saja dia menyusulku ke rumah sakit.
=================
Sesampainya di
rumah sakit, aku melihat Mama tengah duduk termenung di lobi.
“Ma, mama kenapa
? Mama sakit apa ? Ko ngga bilang sama Aisha ? Kan bisa Aisha anterin”
“Mama ngga
kenapa kenapa ko. Maaf yaa udah bikin kamu khawatir. Mama ingin memperkenalkan
teman Mama sama kamu. Kamu ngga keberatan kan ?” mama membelai kepalaku dengan
lembut.
“Ya ampun Mama,
kenapa ngga bilang dari tadi ? aku pikir Mama kenapa kenapa. Ya pasti boleh
dong Ma. Sekarang temen Mama mana ?”
Mama tak
menjawab pertanyaanku. Beliau menuntunku ke sebuah ruangan.
“Temen Mama ada
di dalam. Kamu temui dia di dalam ya. Namanya Tante Lisa”
Sekilas aku
melihat nama ruangan tersebut.
Ruang Psikiater.
“Assalamualaikum”
“Walaikumsalam.
Masuk masuk sayang. Kamu pasti namanya Aisha yaa ? Kamu cantik sekali” sapa Tante
Lisa dengan ramah.
“Terima kasih
Tante. Mama bilang Tante ada perlu sama aku yaa ? kalo boleh tau, ada apa yaa
Tan ?” tanya dengan sopan.
“Nggak ada apa
apa ko cantik. Tante cuma pengen ngobrol ngobrol sama kamu. Boleh kan Tante
minta waktu kamu ?”
“Iya pasti boleh
dong Tan”
Hampir dua jam
lebih aku menghabiskan waktu bersama Tante Lisa. Beliau sangat baik, ramah, dan
pintar. Walaupun ada beberapa pertanyaannya yang mengganjal dan terasa aneh.
“Oke makasih yaa
sayang. Tante boleh minta tolong ngga ? Tolong panggilin Mama kamu yaa”
“Baik Tan”
“Ma, Mama
dipanggil Tante Lisa tuh”
“Oh iya sayang ?
kalo gitu Mama temui Tante Lisa dulu yaa. Kamu bisa tunggu Mama ? jalan jalan
aja dulu di sekitar taman. Nanti Mama telfon kalo udah kelar. Is it okey
darling ?”
“sure Mam”
================
Sementara itu di
Ruang Psikiater,
“Bagaimana Dok
dengan kondisi anak saya ?”
“Begini Bu.
Trauma yang dialami oleh Aisha cukup berat. Kondisi kejiwaannya mengalami
gangguan. Dalam bahasa kedokteran, biasa dikenal dengan istilah Psikosis.
Kondisi dimana penderita tidak mampu menerima realita dengan fantasi dirinya
sehingga menimbulkan sebuah halusinasi. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan
Aisha untuk menerima kenyataan bahwa Aryo telah meninggal sejak tiga bulan
lalu. Oleh karena itu tanpa ia sadari, ia masih menganggap bahwa Aryo masih ada
dan pernikahan mereka akan segera berlangsung”
“Lalu apa yang
harus saya lakukan ? Saya tidak tega melihat keadaan Aisha Dok. Mungkin dia
terlihat baik baik saja. tapi sebenarnya dia sangat rapuh” wanita itu mulai
terisak.
“Saya mengerti
Bu. Namun kita tidak bisa mengatakan secara langsung kepada Aisha akan
kenyataan sebenarnya. Hal ini justru akan lebih menggoncang jiwanya dan malah
membuat keadaaan semakin parah. Saran saya, Aisha harus menjalani terapi. Butuh
waktu memang, tapi inilah langkah terbaik yang dapat kita lakukan”
“Saya setuju
Dok. Apapun itu asalkan bisa membuat putri sulung saya kembali seperti semula”
=============
“Cuaca hari ini
begitu cerah. Coba kalo ada Mas Aryo. Oh iya aku belum menghubunginya”
Sekali lagi
kucoba menelfon Mas Aryo.
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau
berada di luar jangkauan. Cobalah sesaat lagi.
Ah lagi lagi
mail box ! kamu kemana sih Mas ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar